Relevansi Pendidikan Berasrama dalam Mencetak Sarjana Ekonomi Siap Guna

DI TENGAH dinamika global yang makin kompleks, kebutuhan terhadap lulusan perguruan tinggi yang tak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan terampil secara praktis, menjadi semakin mendesak.

Khusus di bidang ekonomi dan bisnis, tantangan yang dihadapi tidak hanya soal persaingan pasar, transformasi digital, atau kecakapan analitik, melainkan juga soal integritas diri, etika bermuamalah, serta kemampuan menyesuaikan diri di tengah ragam budaya sosial masyarakat.

Dalam kerangka inilah, pendidikan berasrama yang mengintegrasikan penanaman adab Islami dan pengembangan skil praktis menemukan relevansi strategisnya.

Pendidikan tinggi di banyak institusi kini cenderung mengutamakan penguasaan teori dan teknologi, tetapi melupakan aspek pembentukan karakter. Mahasiswa dibekali kecakapan teknis, tetapi miskin kepedulian sosial, lemah dalam adab, dan gamang saat menghadapi realitas kehidupan bermasyarakat.

Padahal, bagi calon sarjana ekonomi, kemampuan beradaptasi dengan masyarakat, memahami nilai-nilai keislaman, serta cakap dalam skil praktis seperti kepemimpinan, komunikasi efektif, kewirausahaan, dan manajemen diri, merupakan bekal utama untuk menjadi pelaku ekonomi yang berdaya saing sekaligus berakhlak mulia.

Program pendidikan berasrama mengisi celah ini dengan metode yang terstruktur. Di lingkungan asrama, mahasiswa tak hanya belajar di ruang kuliah, tetapi juga menjalani proses pembentukan diri 24 jam sehari.

Adab Islami ditanamkan secara langsung melalui rutinitas harian: shalat berjamaah, tadabbur Al-Qur’an, muamalah sesama penghuni asrama, serta pembiasaan sikap jujur, disiplin, tanggung jawab, dan rendah hati. Sikap-sikap ini bukan sekadar teori, melainkan diwujudkan dalam praktik sehari-hari yang berulang, sehingga membentuk karakter permanen.

Sebagaimana ditegaskan dalam tradisi pendidikan Islam, adab menduduki posisi lebih utama daripada ilmu. Imam Malik pernah mengingatkan, “Pelajarilah adab sebelum menuntut ilmu.”

Seruan Imam Malik ini sangat relevan dalam konteks masa kini yang mencerminkan kebutuhan mutlak seorang sarjana ekonomi untuk memiliki adab dalam interaksi profesional—baik dalam transaksi bisnis, kerja sama usaha, maupun pelayanan publik—agar keahlian yang dimilikinya memberi manfaat nyata dan tidak tergelincir pada penyalahgunaan kekuasaan atau penipuan pasar.

Selain adab, skil praktis juga diasah melalui berbagai program tambahan di asrama, seperti pelatihan kewirausahaan, manajemen koperasi mahasiswa, pengelolaan kegiatan sosial, serta pelatihan soft skill seperti public speaking, penulisan proposal bisnis, dan kepemimpinan tim.

Aktivitas-aktivitas ini secara alami mengembangkan kemandirian, inisiatif, daya juang, dan kreativitas mahasiswa—atribut yang sangat dibutuhkan dalam dunia kerja maupun dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Lingkungan berasrama juga menjadi laboratorium sosial di mana mahasiswa belajar bekerja sama, memimpin, menyelesaikan konflik, dan menghormati perbedaan latar belakang. Ini relevan dengan kenyataan bahwa dunia ekonomi modern semakin mengandalkan kolaborasi lintas budaya, kemampuan membangun relasi, dan kecakapan menyampaikan ide secara efektif kepada publik.

Program asrama yang terintegrasi dengan sistem ikatan dinas pasca-kuliah semakin memperkuat kesiapan pengabdian mahasiswa. Skema ini memastikan bahwa lulusan tidak berhenti pada tahap menguasai pengetahuan, tetapi langsung terjun melayani masyarakat—baik melalui lembaga ekonomi berbasis Islam, koperasi syariah, UMKM binaan pesantren, maupun institusi keuangan berbasis syariah.

Dengan demikian, proses pendidikan tidak terputus, melainkan berlanjut menjadi proses pengabdian yang produktif dan berkelanjutan.

Di sinilah letak perbedaan strategis program pendidikan berasrama dibandingkan dengan sistem pendidikan non-boarding. Mahasiswa tidak sekadar disiapkan untuk mengejar karir pribadi di perusahaan multinasional, melainkan diarahkan untuk menjadi problem solver di tengah masyarakat: menciptakan lapangan kerja, memberdayakan ekonomi lokal, membangun jejaring usaha halal, serta menyebarkan nilai-nilai etika bisnis Islam di tengah arus kapitalisme global.

Sebuah kutipan menarik dari Syekh Al-Ghazali bisa dijadikan renungan: “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, amal tanpa ilmu adalah kesesatan.”

Pendidikan berasrama memungkinkan sinergi antara keduanya: mahasiswa tak hanya menguasai teori ekonomi syariah atau keuangan islam, tetapi juga mengamalkannya dalam kegiatan keseharian, baik di lingkungan asrama maupun di medan pengabdian pasca kelulusan.

Relevansi program ini makin terasa di tengah gelombang disrupsi digital, di mana dunia bisnis berubah cepat, persaingan makin ketat, dan standar etika sering terabaikan demi keuntungan jangka pendek.

Lulusan yang hanya cakap teknis tetapi lemah adab akan mudah terseret arus pragmatisme; sebaliknya, lulusan yang bermoral kuat dan adaptif secara skil praktis akan mampu bertahan dan memberi warna positif bagi perkembangan ekonomi umat.

Sebagai penutup, program pendidikan berasrama yang mengintegrasikan adab Islami dan skil praktis terbukti relevan dalam menyiapkan sarjana ekonomi siap pakai: cerdas secara keilmuan, terampil secara teknis, tangguh dalam pengabdian, dan mulia dalam akhlak.

Bagi STIE Hidayatullah yang telah menyelenggarakan program beasiswa mahasiswa boarding school dan semakin dikuatkan sejak beberapa tahun terakhir, program ini adalah modal penting yang dibutuhkan untuk membangun tatanan ekonomi masyarakat yang adil, mandiri, dan bermartabat.

Bagikan:

Related Post