SUASANA syahdu menyelimuti momen pembacaan puisi berjudul “Surat Dari Bumi Untuk Manusia Yang Terdidik” karya Frastio Firmansyah, mahasiswa STIE Hidayatullah, dalam acara pembukaan resmi Kick Off Musyawarah Nasional VI Hidayatullah di Pusat Dakwah Hidayatullah, Jakarta, Kamis (12/6/2025).
Puisi ini tidak sekadar menghadirkan estetika kata, tetapi juga melontarkan gugatan intelektual terhadap paradoks moral generasi terdidik dalam merawat bumi.
Dibacakan di hadapan ratusan peserta dan tamu undangan, bait-bait puisi Frastio menyentak kesadaran kolektif.
Dengan diksi tajam dan metafora penuh ironi, bumi—sebagai subjek puisi—bersuara lantang tentang luka-luka ekologis akibat pengkhianatan manusia yang mengaku “berpendidikan”.
Wahai manusia—
yang sekolah tinggi,
yang gelar berjajar seperti pagar rumah dinas,
yang pidatonya panjang soal ‘sustainability’
tapi kantornya masih buang sampah sembarangan.”
Bait pembuka ini langsung memukul sisi hipokrisi kaum terpelajar. Frastio tak segan menelanjangi kecenderungan elit intelektual yang pandai berbicara namun abai bertindak. Kritik diarahkan pada ketimpangan antara narasi penyelamatan lingkungan dengan praktik nyata yang justru merusaknya.

Sebagai bagian dari agenda Kick Off Munas VI yang mengusung tema “Sinergi Anak Bangsa Menyongsong Indonesia Emas 2045”, pembacaan puisi ini menjadi refleksi penting tentang hubungan manusia dengan alam sebagai bagian dari tanggung jawab keislaman.
Bumi dalam puisi Frastio digambarkan bukan sebagai objek pasif, melainkan sebagai entitas hidup yang merasa, menggugat, dan kini memilih bersuara.
Kalian bilang:
‘Hijaukan dunia!’
Lalu potong pohon demi baliho kampanye.
Kalian bilang:
‘Selamatkan laut!’
Lalu kirim limbah pabrik ke muara yang tak bersuara.”
Melalui bait-bait ini, Frastio mengajak hadirin menyelami ironi keseharian kita—slogan lingkungan yang bertebaran di spanduk dan pidato, namun justru dijungkirbalikkan oleh keputusan kebijakan dan budaya korporasi. Bumi menyatakan dirinya bukan lagi sekadar proyek atau simbol seremonial semata.
“Dulu aku sabar,
sekarang aku murka.
Banjir bukan kutukanku.
Itu air mataku.
Longsor bukan ancaman.
Itu tubuhku yang remuk karena keserakahanmu.
Frastio menghidupkan kembali retorika alam yang personal namun politis. Ia menyuarakan bahwa bencana bukan semata takdir, tetapi manifestasi langsung dari kerakusan manusia. Bait ini disambut hening dan tak sedikit peserta yang tampak menunduk, larut dalam kesadaran yang mendalam.
Ketua Panitia Acara Kick Off Munas VI, Maghfur Gunawan, dalam keterangannya menyebut puisi ini sebagai “suara moral yang harus dipelihara di tengah zaman yang penuh distraksi”.
“Kami memang mendorong partisipasi generasi muda untuk menyuarakan peradaban lewat ekspresi seni. Dan puisi Frastio adalah cerminan bahwa literasi spiritual dan ekologi bisa menjadi satu,” ujarnya.
Puisi ditutup dengan pesan tajam namun lembut:
Aku tidak butuh tepuk tangan.
Aku butuh perubahan.
Aku tidak minta dikasihani.
Aku minta dihargai.
Jika kalian sungguh terdidik,
maka rawatlah aku bukan karena perintah,
tapi karena cinta.
Dalam konteks Musyawarah Nasional, puisi ini menjadi panggilan batin agar spirit perubahan tidak hanya menyasar urusan kelembagaan dan politik umat, tetapi juga ekologi sebagai bagian integral dari maqashid syariah—penjagaan terhadap alam (hifzhul bi’ah).
Frastio Firmansyah, dalam wawancara singkat usai pembacaan puisi, menyampaikan harapannya agar karya ini menjadi medium refleksi, bukan sekadar hiburan.
“Saya ingin puisi ini tidak hanya dibaca, tapi ditindaklanjuti. Karena bumi tidak butuh pidato panjang—ia butuh tindakan kecil tapi konsisten dari kita semua,” ucapnya.
Selengkapnya, tonton di sini atau klik di sini. */ (ybh/stiehid)