Bank Indonesia kembali mengingatkan bahwa dinamika ekonomi global bergerak menuju fase yang kian sarat ketidakpastian. Dalam laporan Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional (PEKKI) Edisi 2025, institusi ini memetakan lima sumber risiko yang berpotensi mengguncang stabilitas global.
Peringatan itu tidak lahir dari kehati-hatian berlebih, melainkan dari pembacaan cermat atas pola-pola baru di pasar keuangan yang ditandai oleh kenaikan leverage, inovasi produk keuangan yang semakin kompleks, serta absennya regulasi yang memadai.
Yang paling disorot BI adalah perilaku agresif lembaga keuangan non-bank yang kini memanfaatkan utang pemerintah negara maju sebagai underlying untuk menciptakan produk derivatif tanpa pengaturan margin dan permodalan yang layak.
Fenomena ini bukan sekadar eksperimen pasar yang tidak berbahaya. BI menegaskan bahwa pembalikan pasar dapat mendorong aksi jual besar-besaran yang memicu krisis sistemik seperti 2008. Pernyataan ini bukan retorika. Pengalaman pahit krisis keuangan global masih membekas dalam ingatan publik dan pelaku pasar.
Kala itu, kredit macet sektor properti AS menjadi pemicu runtuhnya sejumlah korporasi besar, termasuk Lehman Brothers. Akarnya jauh lebih dalam: konsentrasi perbankan untuk menciptakan hipotek dan mendistribusikannya melalui sekuritisasi, sementara dana simpanan tidak lagi berfungsi untuk penyaluran kredit riil. Sekuritisasi tersebut kemudian dinikmati peminjam subprime, kelompok berisiko tinggi yang memicu gelombang default berantai.
Sekarang, skenarionya mungkin berbeda, tetapi logika risikonya serupa: produk derivatif yang bertumpu pada aset negara maju namun diperdagangkan oleh institusi non-bank tanpa pengawasan ketat menciptakan kerentanan struktural. Risiko yang dihadapi bukan hanya kegagalan satu kelompok lembaga, melainkan potensi runtuhnya jaringan keuangan global. Dalam istilah sederhana, satu guncangan dapat merambat jauh melampaui titik asalnya.
Risiko tersebut kian diperparah oleh kondisi utang publik global yang telah mencapai level mengkhawatirkan. BI mencatat total utang pemerintah dunia kini menembus US$110,9 triliun atau 94,6 persen dari PDB global. Angka ini bukan sekadar sajian statistik, melainkan indikator bahwa kapasitas dunia untuk menyerap guncangan ekonomi semakin sempit.
Negara maju, sebagai penyumbang terbesar utang global, turut memperbesar volatilitas suku bunga yang kemudian berdampak langsung pada negara berkembang. Akibatnya, ruang fiskal menyempit, kemampuan merespons krisis tereduksi, dan ketahanan ekonomi global menjadi rapuh.
Di tengah lanskap yang belum stabil ini, BI juga menyoroti risiko lain yang tidak kalah genting: aset digital yang marak namun minim regulasi. Pertumbuhan kripto, stablecoin, dan tokenisasi aset oleh swasta dinilai memperbesar volatilitas pasar global.
Absennya kerangka pengawasan dan perlindungan konsumen menjadikan ruang ini rentan terhadap pencucian uang dan manipulasi pasar. Jika lembaga keuangan tradisional tunduk pada standar ketat, maka inovasi digital yang tidak tunduk pada regulasi serupa berpotensi menciptakan ketimpangan tata kelola yang berbahaya.
Faktor eksternal lain yang mengganggu proyeksi ekonomi global adalah perang dan polarisasi perdagangan yang kian menajam. Kebijakan tarif sepihak Amerika Serikat telah menggeser orientasi kerja sama multilateral menjadi bilateral dan regional. Fragmentasi ekonomi internasional ini menyebabkan rantai pasok mudah terganggu dan ketidakpastian perdagangan semakin besar. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2026 diperkirakan hanya mencapai 3,0 persen, turun dari estimasi 2025 sebesar 3,1 persen. Angka tersebut menggambarkan kondisi stagnasi yang akan membatasi pemulihan global.
Di sisi lain, Indonesia berada dalam posisi yang relatif lebih stabil, meskipun tidak sepenuhnya terlindungi. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional pada 2026 berada pada rentang 4,9 hingga 5,7 persen. Inflasi diproyeksikan 2,5±1 persen, transaksi berjalan antara 0,2 hingga -1 persen dari PDB, sementara pertumbuhan kredit berada pada kisaran 8 sampai 12 persen. Angka-angka ini mencerminkan optimisme yang hati-hati: terdapat ruang untuk tumbuh, namun tekanan eksternal masih bisa mengganggu momentum domestik.
Pada titik ini, pertanyaan penting yang muncul adalah bagaimana publik dan pembuat kebijakan memahami pola risiko baru yang membayangi. Kompleksitas pasar modern, mulai dari agresivitas lembaga keuangan non-bank hingga volatilitas aset digital, menuntut kesadaran ekonomi yang lebih terdidik. Tanpa pemahaman memadai, masyarakat mudah dikelabui narasi populer yang menyepelekan risiko. Sementara itu, pengambil kebijakan dapat terjebak dalam solusi jangka pendek yang tidak menyentuh akar persoalan.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa ekonomi bukan sekadar urusan teknokratis yang hanya dipahami kalangan terbatas. Ekonomi adalah pengetahuan dasar yang menentukan kemampuan masyarakat dalam membaca arah perubahan, memahami risiko, serta menilai keputusan publik yang memengaruhi kehidupan mereka.
Ketika dunia berada di tengah ketidakpastian struktural, kemampuan kolektif untuk memahami ilmu ekonomi menjadi elemen strategis untuk bertahan dan berkembang. Tanpa pemahaman tersebut, publik dan negara akan selalu menjadi korban kejutan pasar dan kebijakan global yang tidak terkendali.
Akhirnya, urgensi memperkuat literasi ekonomi bukan hanya kebutuhan akademis, tetapi keharusan moral untuk memastikan masyarakat tidak buta arah dalam menghadapi turbulensi global.
Di tengah gelombang risiko yang terus membesar, hanya bangsa yang memahami dasar-dasar ekonomi yang mampu membuat keputusan rasional dan meminimalkan kerentanan. Ekonomi bukan sekadar disiplin ilmu, tetapi instrumen ketahanan nasional. (nun/adm)





