Banjir Sumatera dan Gagalnya Manajemen Risiko Kita

PADA akhir November lalu, Sumatera kembali menjadi panggung duka nasional. Banjir bandang dan longsor melanda tiga provinsi utama—Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat—menghancurkan permukiman, infrastruktur, dan menelan ratusan korban jiwa.

Data resmi BNPB per-Selasa, 9 Desember 2025, mencatat 962 orang meninggal dan 291 hilang akibat bencana hidrometeorologi di tiga provinsi tersebut. Seiring pembaruan data, berbagai sumber, termasuk kompilasi BNPB dan laporan media, menunjukkan ada 52 kabupaten terdampak, dengan lebih 5000 korban luka.

Di tengah skala bencana sebesar ini, pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa situasi banjir Sumatra “tidak mencekam seperti di media sosial” dan “mencekamnya hanya di medsos” memicu kemarahan publik. Pernyataan tersebut kemudian dikoreksi dan diikuti permintaan maaf, tetapi kerusakan kepercayaan sudah terjadi.

Di level manajemen risiko dan komunikasi bencana, ini bukan sekadar salah ucap; ini adalah blunder konseptual yang menggambarkan bagaimana negara masih memandang bencana sebagai isu citra, bukan sebagai persoalan struktural yang menuntut pendekatan ilmiah dan sistemik.

Manajemen risiko bencana secara akademik selalu menegaskan bahwa bencana bukan “peristiwa alam” semata, melainkan hasil interaksi tiga unsur: bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan paparan (exposure). Curah hujan ekstrem dan badai tropis yang memicu banjir di Sumatra adalah hazard.

Namun besarnya korban dan luas kerusakan adalah cermin dari kerentanan sosial-ekonomi dan tata kelola ruang yang bermasalah. Di balik itu, ada konteks ekologis yang tidak bisa diabaikan. Sumatera telah kehilangan sekitar 4,4 juta hektare hutan sejak 2001.

Lingkungan hidup yang seharusnya berfungsi sebagai “spons raksasa” penahan air—hutan di hulu, kawasan lindung, daerah aliran sungai yang sehat—telah digantikan oleh kombinasi lahan terbuka, pertambangan, dan kebun monokultur.

Video dan foto gelondongan kayu terseret arus banjir yang viral di media memperkuat dugaan bahwa deforestasi, legal maupun ilegal, ikut memperparah skala bencana. Pemerintah sendiri kini mengakui perlunya investigasi terhadap perusahaan yang diduga membersihkan hutan di area rawan banjir di Sumatera.

Dalam kerangka ilmu manajemen risiko, respons seperti “situasi di lapangan tidak mencekam” adalah bentuk distorsi persepsi risiko. Alih-alih berangkat dari data, pemodelan, dan proyeksi terburuk yang wajar diambil untuk penyelamatan manusia, pernyataan tersebut menggambarkan kecenderungan untuk mengkalibrasi risiko berdasarkan ketenangan aparatur, bukan berdasarkan penderitaan warga di titik terdampak.

Padahal, komunikasi risiko menuntut tiga prinsip: transparansi, empati, dan kehati-hatian. Menyepelekan kesan “mencekam” di ruang publik, ketika ratusan nyawa melayang dan ratusan ribu orang mengungsi, bukan hanya kesalahan etis, tetapi juga kesalahan manajerial.

Kegagalan membaca risiko di Sumatera adalah produk dari pola lama: negara kuat di tahap tanggap darurat, lemah dalam tahap pencegahan dan mitigasi. Siklus manajemen bencana yang ideal—mitigasi, kesiapsiagaan, respons, pemulihan—masih ditafsirkan sempit sebagai respons dan bantuan logistik. Padahal, mitigasi dan pencegahan adalah jantung manajemen risiko: penataan ruang yang berbasis peta risiko multi-bahaya, pengendalian izin di kawasan hulu, pengurangan drastis deforestasi, dan penguatan kapasitas pemerintah daerah untuk menegakkan aturan.

Sumatera adalah contoh klasik bagaimana pembangunan yang abai pada risiko berujung pada akumulasi bencana. Data kehutanan dan laporan organisasi lingkungan menunjukkan bahwa ekspansi tambang, perkebunan, dan infrastruktur di hulu sungai berjalan lebih cepat daripada penguatan regulasi dan penegakan hukum.

Ketika badai dan hujan ekstrem datang—diperkirakan makin sering dan intens akibat perubahan iklim regional, maka kerusakan pun berlipat ganda: lereng gundul longsor, sungai meluap, dan desa-desa di hilir berubah menjadi kubangan lumpur dan kayu.

Di titik ini, kita perlu mengatakan dengan jernih: yang “mencekam” bukanlah media sosial, tetapi ketidaksiapan manajemen risiko kita. Media sosial hanya mempercepat distribusi gambar dan cerita yang selama ini tertahan di desa dan kamp pengungsian.

Jika narasi resmi pemerintah tampak mengecilkan bencana, itu bukan kesalahan warga yang mengunggah video, melainkan kegagalan otoritas untuk berkomunikasi dengan standar ilmu kebencanaan dan kepekaan sosial.

Manajemen risiko sebagai disiplin ilmu menawarkan seperangkat alat yang seharusnya menjadi fondasi kebijakan: pemetaan risiko dengan data spasial, pemodelan skenario terburuk, analisis cost–benefit dari investasi mitigasi, hingga desain sistem peringatan dini yang mempertimbangkan kerentanan sosial dan perilaku masyarakat.

Di banyak negara, pendekatan ini menghasilkan lembaga yang kuat, lintas-disiplin, dan dihormati. Di Indonesia, kita masih sering melihat manajemen bencana sebagai urusan administratif dan seremonial, bukan sebagai sains terapan yang menentukan hidup-mati warganya.

Karena itu, bencana Sumatera harus dibaca sebagai ujian kedewasaan negara dalam mengelola risiko, bukan sekadar ujian kecepatan dalam membagi sembako. Kementerian teknis, pemerintah daerah, pelaku usaha, hingga otoritas penegak hukum perlu menempatkan manajemen risiko di pusat pengambilan keputusan: setiap izin tambang, setiap pembukaan lahan, setiap proyek infrastruktur besar, harus diuji dengan kacamata risiko bencana jangka panjang.

Selama manajemen risiko hanya dimaknai sebagai protokol setelah bencana terjadi, Indonesia akan terus mengulang siklus duka di peta yang sama. Pernyataan yang meremehkan situasi sebagai “hanya mencekam di medsos” adalah gejala bahwa sains, data, dan etika belum menjadi pijakan utama dalam pengelolaan bencana.

Kita membutuhkan negara yang bukan hanya sigap mengirim bantuan, tetapi cerdas mengelola risiko sebelum air bah datang. Tanpa revolusi cara pandang berbasis ilmu manajemen, setiap musim hujan akan menjadi undian tragis bagi warga di lereng, bantaran sungai, dan kampung-kampung yang dilupakan dalam peta pembangunan. (nun/adm)

Bagikan:

Related Post